Raker Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung
JAKARTA
- Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar
Bambang Soesatyo meminta Kejaksaan Agung mengusut serta mengungkapkan
dengan tuntas kasus suap yang melibatkan pejabat publik. Semisal, kasus
yang menjerat tiga hakim hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni
Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo, sebagai tersangka kasus
suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Dalam kasus ini Kejagung juga
menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar dan menyita uang
tunai senilai hampir Rp 1 triliun. "Kejagung harus berani mengusut
tuntas kasus ini. Apakah ada keterlibatan pejabat publik lainnya dalam
menyetor transaksional rasa keadilan masyarakat ini. Pada saat kejaksaan
menyita tumpukan uang dan emas, apakah benar dalam bundel-bundel uang
tersebut ada nama-nama penyetor dan nama hakim serta nama kasusnya?
Kejagung jangan ragu untuk menjerat pejabat publik lain yang terlibat
dalam kasus ini," ujar Bamsoet dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI
dengan Kejaksaan Agung di Komplek Parlemen Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Mantan
Ketua Komisi III DPR RI ke-7, Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20
ini juga menyoroti penyidikan kasus mantan Menteri Perdagangan Tom
Lembong yang telah ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka dalam
kasus dugaan korupsi terkait impor gula pada tahun 2015 - 2016. Kejagung
menyatakan Tom Lembong bersalah karena mengizinkan impor gula saat
persediaan gula dalam negeri sedang surplus dan tidak membutuhkan
impor.
"Kejaksaan
Agung harus mampu membuktikan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai
tersangka ini tidak ada kaitannya dengan politik balas dendam seperti
yang tersiar di masyarakat. Kita juga meminta agar kasus Tom Lebong bisa
menjadi pintu masuk Kejagung untuk melakukan penyelidikan terhadap
kasus korupsi lain yang melibatkan pejabat negara," kata Bamsoet.
Waketum Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Kadin Indonesia ini juga
meminta Kejaksaan Agung terus mengoptimalkan penyelesaian perkara
pidana melalui keadilan restoratif (restorative justice) sesuai dengan
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Kejaksaan Agung mencatat sejak
diundangkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020, perkara tindak
pidana umum yang telah diselesaikan oleh Kejaksaan melalui penyelesaian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif hingga November 2024
berjumlah 6.168 kasus.
"Dalam
sistem peradilan pidana, penegakan hukum tidak hanya ditujukan untuk
menghukum pelanggar, tetapi juga untuk mencapai keadilan yang
komprehensif dan berkelanjutan. Keadilan restoratif memberikan ruang
bagi pelaku kejahatan untuk mengakui kesalahan dan bertanggungjawab atas
tindakannya, sekaligus memberikan kesempatan bagi korban untuk
mendapatkan pemulihan atas kerugian yang dialaminya," urai Bamsoet.
Wakil
Ketua Umum FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan,
salah satu alasan utama Kejaksaan harus mengutamakan penyelesaian kasus
pidana melalui keadilan restoratif adalah untuk mengurangi beban sistem
peradilan. Dengan menyelesaikan konflik secara informal dan dialogis,
banyak kasus yang selama ini berlarut-larut di pengadilan dapat
diselesaikan lebih cepat. Ini tidak hanya menghemat biaya dan waktu,
tetapi juga mencegah over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
"Penyelesaian
kasus pidana melalui keadilan restoratif akan menciptakan ruang dialog
yang konstruktif antara pelaku dan korban. Proses mediasi yang
dilaksanakan dalam kerangka keadilan restoratif memungkinkan kedua belah
pihak untuk saling mendengarkan dan memahami posisi masing-masing. Hal
ini dapat mendorong penyelesaian yang lebih humanis dan mengurangi
potensi konflik sosial yang sering kali muncul akibat ketidakpuasan
korban," pungkas Bamsoet. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar