Hadir antara lain anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Ulla Nuchrawaty, Ketua Dewan Pakar BS Center Prof. Didin S. Damanhuri, Sekjen BS Center Dhifla Wiyani, Dewan Pakar BS Center Ana Mustamin dan Auhadillah Azizi, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University Sofyan Sjaf, Dekan FH UGJ Cirebon Prof Endang Sutrisno, Peneliti BRIN Ifah Munifah, Ketua BUMDes Cisantana Agus Susanto, Ketua BUMDes Niagara Neneng Santiasi dan Peneliti BUMDes pada IRE Sukasmanto.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum & Keamanan ini menjelaskan, dibalik peningkatan jumlah BUMDes, juga terdapat berbagai tantangan. Pada tahun 2019 lalu, misalnya, setidaknya terdapat 2.188 BUMDes tidak beroperasi dan 1.670 BUMDes beroperasi, tetapi belum memberikan kontribusi pada pendapatan desa. Pada tahun 2021, meningkat menjadi 12.040 BUMDes yang tidak aktif. Banyak faktor penyebabnya yang harus ditanggulangi. "Misalnya, BUMDes tidak berpijak pada kekuatan livelihood warga desa. Terjadi disorientasi kebijakan BUMDes dan kepemimpinan desa yang tidak visioner, BUMDes tidak membuat desa menjadi berdaya akibatnya laju pembangunan pertanian dan desa melambat, BUMDes tidak didukung perencanaan bisnis berbasis data presisi, BUMDes tidak mampu mengubah mindset generasi muda, dan rendahnya sumber daya manusia di pedesaan," jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam Kadin Indonesia ini menerangkan, berbagai paradoks juga masih terjadi dalam pembangunan pedesaan. Misalnya potensi desa sebagai penyedia pangan yang belum dimaksimalkan, ditandai dengan masih besarnya impor pangan. Pada tahun 2024, impor pangan diprediksi mencapai 12.437.218 ton. Terdiri dari impor beras, gula, bawang putih, daging lembu dan jagung.
"Data lainnya, pada tahun 2013, impor pangan diprediksi USD 10 miliar. Tahun 2023 nilainya mencapai USD18.76 miliar atau lebih dari Rp 300 triliun. Tidak heran apabila desa dengan basis sistem ekonomi rumah tangganya yang mencapai 73 persen lebih berada di sektor pertanian, masih identik dengan ketertinggalan dan kantong kemiskinan. Sehingga tidak ada anak-anak muda yang mau menjadi petani. Menyebabkan 61,8 persen petani di desa berusia diatas 45 tahun, dan hanga 12.2 persen yang berusia dibawah 35 tahun," pungkas Bamsoet. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar