"Jangan ada lagi demo. Demo di jalan bisa mengganggu arus kendaraan lalulintas. Siapa yang mau mendengarkan," kata Mundjidah.
Mundjidah mempersilakan aksi tuntutan massa demo bisa disampaikan ke lembaga DPRD dan pejabat Forkopimda. "Kalau ada masalah bisa disampaikan ke DPRD atau Forkopimda. Kita punya DPRD, silakan disampaikan apa masalahnya, bukan dengan cara turun ke jalan, karena bisa mengganggu arus kendaraan lalu lintas," tandasnya.
Menurut orang nomor satu di Kota Santri Jombang ini, setiap permasalahan yang muncul di masyarakat bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat. "Setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, yaitu melalui musyawarah untuk mufakat," tuturnya.
Menanggapi hal ini, Aan mengatakan, statemen seperti itu sama juga mengebiri hak demokrasi, karena membatasi dalam menyampaikan pendapat di muka umum. "Satu hal unjuk rasa tidak dilarang dalam undang-undang. Unjuk rasa adalah upaya terakhir dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi ketika jalan mediasi sudah tidak menemukan titik temu," singgung Aan saat dihubungi awak media siber kabarjatim.co.id Biro Jombang, kemarin.
Pria berambut gondrong ini menyebutkan, ketika seorang pemimpin membuat statemen demikian itu sama saja dengan menggali lubang yang dalam di era demokrasi yg semakin maju. "Beliau kan bupati, juga sebagai ketua partai politik (parpol). Jadi, menyampaikan aspirasi itu tidak dilarang dan dijamin oleh undang-undang," kata Aan.
Dalam catatan media ini, setidaknya dalam satu tahun ini ada empat kali gerakan aksi demo massa yang turun ke jalan menyangkut persoalan dugaan kasus korupsi, sengketa lahan dan BBM bersubsidi untuk para petani. (*)
Reporter : Agus Pamuji
Foto : Agus Pamuji
Teks Foto : Aksi demo yang dilakukan para aktivis LSM Jombang terkait
permasalahan hukum bangunan ruko di Simpang Tiga Mojopahit yang belum
tuntas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar