Unjuk rasa Aliansi LSM Jombang di depan Kantor Bupati dijaga kepolisian dan Satpol PP |
Aliansi LSM Jombang yang dimotori Aan
bersama para aktivis lainnya ini melakukan aksi demo di pelataran
halaman depan Kantor Bupati Jombang, Jl Wahid Hasyim yang datang sejak
pagi, Kamis (2/2/2023).
Sayangnya, ratusan pendemo yang
tergabung di Aliansi LSM Jombang ini rencananya menemui Bupati Hj
Mundjidah Wahab, Wabup Sumambrah dan Sekkab Agus Purnomo tidak berhasil,
karena semuanya tidak berada di tempat. "Ayo
kawan-kawan kita maju, kita masuk menemui Bupati, Wakil Bupati dan Sekda. Kami ini warga Jombang. Kami mendesak pemerintah Jombang segera
menutup pertokoan di Simpang Tiga itu. Kami warga juga punya hak
menempati. Itu aset tanah milik Pemkab yang harus dikosongkan. Enak
saja mereka menempati tanah milik pemerintah tapi tidak mau bayar sewa. Tolong
kepada Ibu Bupati, kami ingin bertemu," teriak Aan sambil pegang toa
saat orasi yang dijaga ketat puluhan personel Polres dan Satpol PP di
halaman depan Kantor Bupati itu.
Ruko di Simpang Tiga Mojongapit Jombang |
Seraya demo, mereka membawa poster tuntutan dengan diiringi musik tradisional Kuda Lumping bersama penarinya. Pernyataan
sikap Aliansi LSM Jombang ini mengenai persoalan Ruko Simpang Tiga
sejak 2016 silam sampai sekarang masih terkatung-katung tak kunjung
selesai. Aliansi LSM Jombang menyebutkan, para pemilik ruko itu ijin
sertifikat hak guna bangunan (SHGB) sudah berakhir Juni 2016, tapi
kenapa Pemkab Jombang tidak punya nyali untuk menutupnya.
"Pemkab
Jombang terkesan membiarkan hingga terkatung-katung sampai sekarang ini.
Hasil temuan BPK RI ada tunggakan uang sewa dari pemilik ruko sebesar
Rp 5 miliar yang belum dibayar. Kami mendesak kepada pemerintah Jombang
melarang keras membuat klausul kontrak baru kepada para penghuni ruko,
karena tanah itu aset pemerintah," tegas Aan dalam pernyataan
tertulisnya.
Meski Aan Cs dengan LSM-nya tidak
berhasil menemui kepala daerah, mereka hanya ditemui Kepala Dinas
Perdagangan dan Perindustrian, Pemkab Jombang, Suwignyo yang didampingi
sejumlah stafnya di ruang lobi lantai dasar Kantor Bupati.
Pembahasan
yang berlangsung alot dan tegang ini, tetap saja menemui jalan buntu,
pasalnya Suwignyo hanya menampung aspirasi yang nantinya disampaikan ke
pucuk pimpinan di atasnya. Saat ditemui usai demo, Suwignyo ditanya
sikapnya oleh wartawan media siber kabarjatim.co.id
Biro Jombang, pihaknya terkesan hati-hati menjawabnya.Wignyo
mengatakan, selaku pemerintah tidak bisa sertamerta menutup kawasan ruko
Simpang Tiga itu. "Apa yang dituntut LSM ini agar mengosongkan ruko
tidak bisa begitu saja dilakukan. Ini kan masih proses ditangani
kejaksaan. Untuk menutup ruko itu kewenangan kepala daerah. Proses
hukumnya juga belum selesai. Yang kami lakukan saat ini masih berupa
pembinaan dulu," jelas Suwiqnyo.
Pihaknya
menambahkan, di lokasi ruko Simpang Tiga yang menjadi sengketa hukum itu
berjumlah 55 unit ruko yang dibangun sekira 1994 silam. "Ada sisa uang
sewa yang belum dibayar sampai sekarang. Mereka nolak bayar dengan
alasan macam-macam. Makanya kita tunggu sampai ada putusan hukum,"
sebutnya.
Usai demo di Kantor Bupati Jombang,
Aliansi LSM Jombang ini bergeser melanjutkan aksinya ke kawasan ruko
Simpang Tiga dengan dikawal ketat oleh aparat kepolisian Polres Jombang
dan Satpol PP.
Tiba di lokasi, pendemo ini terus
menyuarakan tuntutannya. Para pemilik toko tidak ada satu pun yang
menemui mereka untuk membuka ruang dialog. Sementara
itu, salah seorang pemilik toko yang ditemui wartawan media ini di
lokasi demo, pihaknya menegaskan tetap menolak mengosongkan rukonya. "Ya
gak bisa saya mengosongkan. Wong ini ruko tempat usaha saya kok. Menurut
saya, ini ada kesalahan dari pemda sejak awal. Mestinya pemilik ruko
diajak rundingan dulu gimana baiknya. Gak bisa tiba-tiba dibuat
peraturan baru harus bayar sewa Rp 20 juta," tuturnya yang enggan
disebut namanya ini.
Ia mengatakan, ruko miliknya
yang dibangun itu tanahnya memang milik pemda, sedangan fasilitas
bangunan ruko 55 unit ini menggunakan ijin SHGB selama 25 tahun dan
dapat diperpangjang lagi. Sewaktu perjanjian antara pemilik ruko,
pengembang dan pemda tidak ada disebutkan tentang sewa menyewa, yang ada
ijin SHGB dan dapat diperpanjang lagi. Menurut pemilik ruko itu,
pihaknya sudah mengajukan perpanjangan ijin SHGB dari Tahun 2014 lalu,
dua tahun sebelum ijin SHGB berakhir. "Tapi ternyata sekarang tiba-tiba
dibebani uang sewa Rp 20 juta. Malahan bangunan ruko-ruko ini diklaim
sebgai aset Pemda. Terus gimana ini, ya saya gak mau. Pemerintah kan
penguasa, masak kita melawan penguasa. Saya ini warga biasa yang punya
usaha, ya harusnya diajak berunding dulu yang baik," ucapnya. (*)
Reporter : Agus Pamuji
Foto : Agus Pamuji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar