Dapat Menghambat Investasi Hulu Migas
JAKARTA
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan pengamat migas mempertanyakan
keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mulai
memberlakukan penurunan harga gas untuk industri dan pupuk menjadi US$ 6
per MMbtu mulai 1 April 2020 ini. Kebijakan itu dinilai tidak sensitif
terhadap perkembangan perekonomian nasional saat ini dan dinilai dapat
menghambat investasi hulu migas.
Sugeng Suparwoto diwawancarai awak media |
Ketua Komisi
VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan kebijakan penurunan harga gas ini
akan langsung mengakibatkan turunnya penerimaan negara dari sektor hulu
migas. "Saat ini pemerintah sedang sangat membutuhkan dana untuk
menangani pandemi Covic 19. Kalau bagian negara dari penjualan gas
dipangkas, maka bagaimana kebutuhan ini akan ditutupi?" kata Sugeng di
Jakarta, Jumat (3/4/2020).
Sugeng juga menyoroti
dampak kebijakan ini terhadap investasi di sektor hulu migas di
Indonesia. Menurutnya, penurunan harga gas ini akan menurunkan minat
investor untuk masuk ke sektor hulu migas di Indonesia apalagi di tengah
rendahnya harga minyak dunia. “Harga minyak sedang turun. Tanpa
kebijakan apapun, realitas ini sudah memberikan sinyal negatif buat
investor. Kenapa Menteri ESDM malah menerapkan kebijakan yang akan
membuat investor hulu migas tidak berniat untuk mengembangkan
lapangannya. Ke depan kita akan rugi banyak,” kata Sugeng.
Sugeng
melanjutkan, sebelum memberlakukan kebijakan tersebut, seharusnya
Menteri ESDM membuat kajian terkait titik-titik ketidakefisienan di 7
(tujuh) industri dan pupuk yang akan mendapatkan pemberlakukan harga
spesial tersebut. Kajian juga dilakukan pada rantai suplai gas dari hulu
sampai ke end user. Proses ini harus dilakukan agar industri hulu yang
sudah efisien tidak semakin ditekan.
Ditambahkannya, saat ini
industri-industri dalam negeri kuat dan sudah semakin berkembang
sehingga pemberian subsidi kepada mereka perlu dievaluasi apakah sudah
tepat atau tidak.
Menurutnya, sebelum langsung
menurunkan harga, Kementerian ESDM seharusnya terlebih dahulu
mengevaluasi letak ketidakefisienan bisnis migas yang sesungguhnya.
Evaluasi ini perlu dilakukan secara menyeluruh mulai dari hulu
(upstream), tengah (midstream) dan hilir (downstream).
Sugeng
menilai selama ini sisi hulu sudah cukup efisien karena angka
keekonomian sudah dihitung sesuai dengan cadangan yang tersedia.
"Seharusnya jangan sisi hulu terus yang ditekan. Kalau konsumen ingin
harga yang murah, perlu dikaji sisi mana yang tidak efisien. Sisi
midstream harus ikut berkorban," ujarnya.
Sugeng
mengingatkan pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan yang hanya
menguntungkan satu pihak saja. Menurutnya, pemerintah harus juga berani
membenahi sisi midstream dan downstream bisnis migas.
Hal
senada diutarakan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gajah Mada
Fahmy Radhi. Pengamat yang pernah menjadi tim anggota reformasi migas
ini mengatakan penurunan harga gas ini menyebabkan pemerintah harus
melepaskan penerimaan negara dari sektor hulu sebesar US$2,2 per MMBtu yang ujungnya akan menurunkan Penerimaan Negara.
Meski
akan ada tambahan penerimaan pajak dan deviden, serta penghematan
subdisi, jumlahnya masih lebih kecil dari pengurangan pendapatan
pemerintah dari hulu migas.
"Saat ini baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sedang sangat butuh dana untuk
berbagai program penanganan Covid 19. Sebaiknya penurunan harga gas ini
ditunda dulu karena sesungguhnya lebih besar biayanya daripada
manfaatnya," ujarnya.
Pepres Nomor 40 tahun 2016 mengatur bahwa Penetapan harga gas sebesar $6
per MMbtu diperuntukkan untuk tujuh industri strategis, yaitu industri
pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja,
industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet.
Menurut Fahmy, kebijakan ini seharusnya tidak diperluas lagi dengan
memasukkan PLN di dalamnya.
"Subsidi
kelistrikan lebih bagus diberikan langsung kepada masyarakat, bukan
kepada PLN. Contoh subsidi langsung ini misalnya subsidi untuk pelanggan
450 VA dan 900 VA selama pandemi Covid-19," ujar Fahmy.
Menurutnya
subsidi kepada PLN justru harus dicabut supaya perusahaan pelat merah
ini dapat menjalankan bisnisnya dengan lebih efisien. Ditambahkannya,
kompensasi yang diberikan kepada PLN sudah cukup melalui kebijakan
marjin 7 persen yang selama ini sudah diperhitungkan di dalam tarif.
Fahmy
juga mengatakan secara umum insentif harga gas untuk industri yang
tertuang dalam Perpres No 40 tahun 2016 harus terus dievaluasi. Dia
mengingatkan bahwa dalam rapat kabinet terbatas, Presiden Jokowi
memberikan peringatan kepada Kementerian ESDM dan Kementerian
Perindustrian agar industri yang diberikan insentif penurunan harga gas
harus dapat menaikkan daya saing dan memberikan kontribusi terhadap
perekonomian Indonesia.
“Kalau ternyata tidak memberikan
kontribusi signifikan, maka penetapan harga gas industri sebesar US$ 6
per MMbtu sebaiknya dibatalkan saja. Pasalnya, kebijakan pemerintah itu
lebih besar biaya yang harus ditanggung ketimbang benefit yang
diperoleh,” pungkasnya.
Menteri ESDM Arifin
Tasrif mengatakan penetapan harga gas tersebut mengikuti Peraturan
Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres
ini sebenarnya hanya mengatur keringanan harga gas untuk tujuh industri
strategis. Namun, melalui kebijakan Kementerian ESDM, penurunan harga
gas juga diperuntukan kepada PLN. (*/kg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar