Mendiang Letkol. dr Soebandi, Jabatan Terakhir Residen Militer Besuki dan dokter pada Brigade Dhamarwulan
Pengantar
LETKOL dr. RM. Soebandi adalah dokter
militer kelahiran Klakah, Lumajang pada 17 Agustus 1917 itu begitu melekat
dengan masyarakat Jember. Ia gugur dalam sebuah pertempuran dengan tentara
Belanda di sebuah desa di tepi hutan. Ada kisah penuh heroik sebelum peluru
menembus tubuhnya. Sebagai bentuk penghargaan diabadikanlah namanya menjadi nama
rumah sakit daerah¸ institusi sekolah kesehatan bahkan sampai nama jalan. Dalam
mengenang 70 gugurnya dokter pejuang tersebut kisah hidupnya yang tidak banyak
diketahui orang tersebut dituangkan dalam biografi berjudul : “Letkol dr. RM. Soebandi : Jejak Kepahlawanan Dokter Pejuang” yang ditulis oleh Gandhi Wasono M. dan Priyo
Suwarno.
Langit Desa Karang Kedawung,
Kecamatan Mumbulsari, Jember, pada Selasa 8 Februari 1949 dini hari itu
terlihat cerah. Udara sejuk dan sesekali berhembus angin tipis, membuat warga
desa yang berada di tepi hutan dan perkebunan kopi makin terlelap dalam buaian
mimpi.
Di tengah remang sepi, yang terdengar
hanyalah suara mengerik belalang gegirik dari sela-sela rerimbunan pohon
bambu. Dan sesekali terdengar kepak sayap burung hantu beterbangan.
Nyaris seluruh warga desa yang
berjarak sekitar 20 km dari jantung kota Jember terlelap, termasuk Arsiman dan
keluarganya setelah letih seharian menjadi buruh kasar di tegalan. Biasanya,
usai salat Isya Arsiman masih bercengkerama dengan anak menantunya, namun malam
itu kantuk datang lebih cepat. Tubuh mereka ingin segera direbahkan.
Namun, keheningan dini hari itu
mendadak pecah. Sekitar pukul 03.00,
terdengar derap langkah sepatu lars dari kaki banyak orang. Semula terdengar
sayup-sayup, tetapi makin lama makin
keras menyeruak ke dalam rumah berdinding gedek dan beratap rumbai daun kering
itu. Suara makin riuh orang
bercakap-cakap. Tepat di depan rumah, suara langkah berhenti. Lantas terdengar brug…
brug…brug… seperti menjatuhkan barang ke tanah. Dari percakapan yang terdengar menerobos
dinding rumah suara itu terdengar nada keluh kelelahan.
Kehadiran
suara yang tidak biasa itu membuat Arsiman dan keluarganya terbangun ketakutan.
Meski sudah membuka mata, Arsiman tidak berani langsung beranjak. Biasanya kala
dini hari tiba, yang terdengar suara penjual kayu dan daun jati, berjalan
beriringan menuju Pasar Tanjung lewat di belakang rumah. Namun, malam itu jelas
bukan suara mereka.
Dua kakak beradik Misjeni (kiri) dan Srinen (kanan), dua saksi hidup warga Karang Kedawung,Jember di rumah orang tua mereka mendiang Lektol. Sroedji dan Letkol. dr Soebandi menginap, sebelum kedua pahlawan itu tewas diberondong oleh peluru Belanda.
LETIH
DAN LAPAR
Rasa takut dan penasaran berkecamuk
jadi satu. Arsiman lalu minta istrinya Miryani dan anaknya tetap di amben,
sementara ia mencoba melihat ke luar rumah. Sejenak menghela napas, ia berdiri
dan berjalan mengendap-endap. Ada perasaan waswas saat ia membuka pintu dari bambu.
“Karena baru pertama kali di pagi buta mendengar suara banyak orang berkerumun
seperti itu,” kisah Srinem dalam biografi yang diterbitkan oleh
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jember dan dilaunching pada 9 Februari
2019 oleh keluarga bekerjasama dengan Pemda Jember tersebut.
Begitu pintu rumah terbuka,
keluarganya jadi lega. Rasa khawatir perlahan sirna. Ternyata, yang ada di luar adalah rombongan
pasukan tentara Indonesia. Srinem mendengar ayahnya membalas ucapan salam dari
mereka.
Srinem bergegas berdiri menyusul,
ibunya turun dari amben. Temaram sinar lentera di teras rumah membantu Srinem
mengetahui siapa saja yang ada di sekitarnya. Ia menyaksikan seratus lebih
tentara Indonesia datang. Mereka menyebar ke sekitar rumah dan kediaman warga
lainnya. “Ada tentara yang menuju rumah tetangga. Sebagian merebahkan diri di
hamparan tanah kosong di bawah rerimbunan pohon, ada juga yang duduk diam
termangu. Mereka tampak lesu,” kata
Srinem kendati usiannya 80-an tahun namun ingatannya masih tajam dan nada
bicaranya dalam bahasa madura masih lantang penuh tenaga.
Srinem mendengar percakapan ayahnya
dengan tentara itu. Intinya mereka ingin istirahat karena kecapekan. Selain
lesu mereka juga lapar dan haus. Bekal makanan sudah habis setelah puluhan hari
menempuh perjalanan jauh melewati hutan dan gunung untuk menghindar dari
pantauan pasukan Belanda.
Mereka adalah gerilyawan Brigade
Damarwulan dalam perjalanan dari Blitar menuju Desa Socopangepok di lereng
Gunung Argopuro. Pasukan tersebut semula berada di Blitar, namun pada tanggal
19 Desember 1948 atas perintah Jenderal Soedirman, diminta kembali ke Besuki
untuk melakukan perang gerilya setelah Belanda mengingkari isi perjanjian
Renville.
“Saya tidak bisa melupakan peristiwa
itu! Saya ingat sekali karena seumur hidup baru kali itu mengalami. Kala itu
saya sepantar anak kelas 4 SD atau sekitar 10-11 tahun,” kata Srinem yang
didampingi kakaknya Misjeni yang sampai saat ini masih bertempat tinggal di
rumah yang menjadi saksi sejarah tersebut.
Arsiman semakin paham mereka adalah
tentara Indonesia yang butuh bantuan. Warga masyarakat sekitar pun terbangun di
pagi buta itu. Mereka bergabung untuk saling bahu membahu membantu menyiapkan
tempat dan makanan untuk mereka.
Ketiga kakak Srinem yaitu Jumanten,
Setoni, dan Misjeni beserta suaminya juga ikut bergabung untuk menyiapkan
makanan prajurit. Ran, suami Misjeni
yang tuna wicara, juga tak ketinggalan ikut membantu.
NASI JAGUNG DAN SAYUR URAP
“Sebagian besar masyarakat desa ini kondisinya
sangat miskin. Tapi, melihat keadaan para pejuang, hati kami terketuk untuk membantu
meski dengan menyediakan makanan seadanya,” sahut Misjeni yang sejak 10 tahun belakangan ini
tidak bisa melihat namun ingatan jangka panjangnya sangat bagus.
Menurut Srinem, dari sekian banyak
tentara, dua di antaranya kemudian masuk ke rumahnya. Belakangan dia mengetahui bahwa mereka berdua
adalah komandan pasukan Letkol Moch. Sroedji dan Letkol dr. RM. Soebandi,
menjabat residen militer merangkap dokter militer. “Pak Sroedji dan Pak Soebandi masuk ke rumah,
sedang anak buahnya di pelataran dan di rumah tetangga,” papar Srinem.
Karena tidak punya lauk, Srinem
diminta ibunya memetik kacang panjang dan daun lembayung di halaman rumah. Selanjutnya, Srinem sibuk memarut kelapa
untuk bumbu urap. Jadilah, nasi jagung
lauk urap untuk menu makan sang komandan dan pasukannya.
Sementara pagi itu, Misjeni membuatkan masakan yang
agak “istimewa” untuk dr. Soebandi. Ada
tambahan menu tempe goreng ditambah sambal terasi. “Sambil menunggu menanak
jagung, saya goreng lagi tempe sisa kemarin,” tutur Misjeni yang saat itu rumahnya
bersebelahan dengan Arsiman.
Sroedji dan Soebandi tampak begitu
letih. Sambil rebahan di atas tikar, mereka mengeluh tubuhnya sakit. Perjalanan
panjang menyisir hutan dengan medan berat melewati tanjakan dan turunan membuat
punggung dan paha kanan terasa sakit. Kondisi Soebandi tidak separah Sroedji,
ia hanya merasa sangat letih.
Arsiman tanggap. Ia segera memanggil
istrinya yang memanggil ahli urut dan dukun bayi untuk memijat Sroedji, sedang
Soebandi dipijat Bu Putiah, tetangga sebelah rumah yang juga dikenal sebagai tukang pijat.
Meski peristiwa itu sudah 70 tahun
berlalu, Srinem masih mampu mendeskripsikan sosok Soebandi. Ia menyebutkan
secara fisik Soebandi berwajah tampan. Selain berkulit bersih, hidung mancung,
dengan sorot mata tajam dan bertubuh tegap. Satu lagi, Srinem mengenal Soebandi
sebagai lelaki pendiam. Pembawaannya tenang dan sesekali tersenyum dengan lawan
bicara, namun begitu berbicara nadanya terdengar tegas berwibawa.
Menikah dengan Rr Soekesi, Letkol. dr Soebandi punya tiga anak perempuan. Sulung (kiri) bernama Widyasmani, Widorini (bungsu) dan Widyastuti putri kedua di posisi paling kanan.
TEMBAKAN
Waktu terus berjalan. Di ufuk timur
matahari belum beranjak. Namun, bias sinar memerah sudah menyeruak di antara
pepohonan. Suara kokok ayam serta kicau burung yang bertengger di ranting ramai
menyeruak ke angkasa.
Srinem sibuk membantu ibunya yang
sudah selesai memasak. Dengan entong kayu ia
menuangkan nasi jagung panas di atas pincuk daun pisang. Lauknya urap
dari kacang panjang dan daun lembayung.
Meski dengan menu nasi jagung dan
sayur urap, mereka menyantap hidangan itu dengan lahap. Dengan tangan telanjang
mereka terlihat bersemangat muluk nasi jagung. Dari roman mukanya, terlihat
nikmat sekali mereka menyantap menu sederhana itu.
Demikian pula Soebandi, selain nasi
jagung ada sedikit tambahan sepotong tempe goreng kecil dan sambal terasi
dengan air minum tersaji di dalam kendi. Kepada Misjeni yang menyajikan
makanan, Soebandi mengucapkan terima kasih. Dengan senyum dia menepuk pundak
Misjeni. “Terima kasih, ya, sudah menyiapkan makan untuk saya dan teman-teman.
Kamu baik dan rajin,” puji Soebandi.
Namun suasana tiba-tiba berubah.
Disaat mereka lahap menyantap makanan, tiba-tiba dari arah timur laut,
terdengar rentetan bunyi senjata. Dor... dor... dor!
Rentetan senjata itu ternyata datang
dari tantara Belanda yang sudah mengetahui posisi para gerilyawan. Dengan nasi
pincuk masih di tangan, mereka kontan melompat, berdiri, dan berlari ke depan
rumah. “Ambil senjata dan cepat lari!” teriak keduannya dengan kencang
memerintahkan anak buahnya di luar.
Para gerilywan tunggang-langgang lari
ke arah barat menuju hutan. Setelah melewati jalan menurun di belakang rumah
Srinem, pasukan melintas sungai, melalui sawah dan tegalan, ke arah kebun kopi.
Suara gedebukan kaki pejuang berpacu
dengan hujan peluru. Sesekali para pejuang melakukan tembakan balasan. Tapi,
serangan ini tak sebanding dengan kekuatan lawan. Sroedji dan Soebandi tidak langsung
menyelamatkan diri, keduannya justru lebih dahulu mengamankan warga. “Ayo,
segera masuk rumah dan tiarap,” teriak Sroedji dan Soebandi. Suara mereka
bersahutan dengan desing peluru yang terus menyalak.
Setelah itu Soebandi bergegas kembali
masuk ke rumah Arsiman. Dengan wajah tegang, ia memberi aba-aba yang sama: segera tiarap di kolong amben.
Desing peluru terus
membabi-buta. Sebagai komandan, Sobandi memperlihatkan
ketenangannya. Bahkan Soebandi, masih sempat memandu Misjeni bagaimana cara
tiarap yang benar. “Kalau tiarap kakinya jangan ditekuk,” ucap Soebandi
setengah berteriak.
Setelah merasa keluarga Arsiman dan
warga aman, barulah Sroedji dan Soebandi meninggalkan rumah, menyusul anak buahnya. Srinem memberikan kesaksian menarik di
detik-detik dua pemimpin itu meninggalkan rumahnya. Sebelum keluar rumah,
Sroedji dan Soebandi masih sempat membungkus sisa nasi yang ada dalam pincuk
dan membawanya pergi. “Sepertinya itu bentuk penghargaan mereka pada kami atas
jerih payah keluarga menyiapkan makanan,” ujar Srinem yang bisa menceritakan secara detil saat-saat
menegangkan teresebut.
Setelah keduanya lari, Srinem maupun
Misjeni tak tahu keadaan di luar rumah. Yang pasti, itulah suasana pagi yang
paling mencekam dalam hidupnya. Sepanjang suara tembakan masih menyalak,
keluarga Arsiman tak berani beringsut sedikit pun dari kolong amben. Suara
wing…wing..wing ..suara desingan peluru itu berulang kali menembus dinding
gedeg dan melintas di atas tubuhnya. Mereka merasakan batas antara kehidupan
dan kematian sangat tipis. Hanya pekik takbir yang bisa dilakukan.
Srinem
memperkirakan sekitar satu jam kemudian suara tembakan baru reda. “Sungguh saya
tidak bisa melupakan kejadian itu, sangat mengerikan,” kata Srinem yang saat
ini mewarisi profesi ibunya sebagai tukang pijat di kampung.
Bupati Jember dr Faida didamingi dr Widorini (putri bungsu mendiang Letkol. dr Soebandi) saat peluncuran buku mengenang 70 tahun wafatnya dr Soebandi di Jember, 9 Februari 2019.
JASAD BERDAMPINGAN
Setelah diperkirakan aman, mereka
keluar dari kolong amben. Arsiman langsung keluar rumah bergabung dengan warga.
Namun baru sekian menit kemudian, dengan langkah tergesa-gesa Arsiman kembali
ke rumah. Di depan rumah ia menyampaikan kabar duka. Getar suaranya setengah
berteriak, lebih mirip raung kesedihan.
“Pak Bandi dan Pak Sroedji bersama anak buahnya meninggal tertembak!”
Sontak Miryani dan anak-anaknya
langsung menjerit bersama. Mereka seolah tak percaya mendengar kabar duka
tersebut. Jantung mereka seolah berhenti berdetak. Alam pun mendadak sunyi.
Kabar kematian itu membetot emosi.
Arsiman tak bisa menahan emosinya
yang membuncah. Dengan berurai air mata ia menceritakan bahwa jasad Soebandi
dan Sroedji tergeletak bersebelahan, hanya berjarak sekitar 150 meter sebelah
barat rumahnya. “Mereka tewas dengan luka tembak diatas pematang sawah,” ucap
Arsiman, tak mampu melanjutkan ucapannya. Keluarga Srinem pun mendadak menangis
bersama. “Kami tak mengira, nasi yang kami berikan itu adalah makanan terakhir
sebelum meninggal,” kata Srinem menirukan Miryani mendiang ibunya dengan
sesenggukan.
Arsiman enggan terlalu lama larut
dalam duka. Sambil mengusap air mata, ia meninggalkan rumah dan bergabung
bersama warga lainnya untuk memakamkan belasan jasad para korban, baik tentara
Indonesia maupun dari pihak Belanda.
Srinem melanjutkan cerita ayahnya.
Dengan segala keterbatasan, warga menguburkan belasan prajurit tentara
Indonesia dan beberapa tantara Belanda dalam satu lubang besar. Kecuali jasad dr. Soebandi, yang dimakam
sendiri, sedang jasad Sroedji dibawa Belanda. Makam Soebandi berdekatan dengan
sungai. Ketika dimasukkan liang lahat tetap menggunakan jaket yang dikenakan
pagi hari, lengkap dengan barang-barang bawaannya. “Sebagai penanda, bapak
menanam pohon jarak di bagian kepala dan kaki sebagai pengganti batu nisan,” kata
nenek dengan beberapa orang cucu tersebut.
Gandi Wasono M (kiri) dan Priyo Suwarno (kanan) penulis sejarah perjuangan
Letkol. dr. RM Soebandi
KEBERANIANNYA DILUAR BATAS
Meski sudah berlalu 70 tahun yang
lalu, tapi cerita gugurnya dr. Soebandi selalu membetot emosi. Syaiful Akbar
(95), dalam buku biografi setebal 304 halaman, kakek yang tinggal di Desa
Krajan, Mayang, Jember, tersebut bisa menceritakan secara detil kronologi
tertembaknya Soebandi. Ia mengetahuinya dari anak buahnya yang merupakan seorang
intelijen, yang saat itu berada di lokasi kejadian. “Saat itu saya sedang
ditawan Belanda. Begitu keluar dari tahanan, anak buah saya yang lolos dari
maut tersebut cerita semua kepada saya,” kata Syaiful Akbar ketika revolusi
berdinas sebagai intelijen berpangkat pembantu letanan dua.
Syaiful menceritakan saat itu
kondisi pasukan Damarwulan memang sangat kepayahan setelah perjalanan ratusan
kilo dan puluhan hari dari Blitar menuju Socopangepok, Bondowoso. Selama
perjalanan itu, mereka sering crash dengan pasukan Belanda. Karena
senjata dan personil tak seimbang, sehingga tantara Indonesia banyak jadi
korban.
Kepergian dr. Soebandi sendiri
sangat dramatis. Ceritanya, setelah Belanda mendapat informasi dari mata-mata,
kemudian dengan cepat mereka melakukan penyergapan. Kendati tengah dikepung
namun keduannya tidak segera meninggalkan lokasi, tetapi tetap berusaha
mengkomando masyarakat agar tak jadi korban.
Sroedji berlari di depan kemudian
Soebandi menyusul di belakangnya. Namun, kondisi kaki bengkak menyebabkan
langkah Sroedji tak segesit Soebandi. Situasi menjadi genting tatkala dua
tentara Belanda muncul dari arah utara. Mereka berhasil memepet Sroedji dan
akan menembak dari jarak dekat.
Ketika berada di ujung maut dengan
cepat ia menghentikan langkahnya. Dengan gagah ia langsung mengangkat tangan
sambil berteriak, “Jangan tembak! Saya Mochamad Sroedji.” Melihat Sroedji yang
sudah mengangkat tangan, dua tentara Belanda batal menembak. Mereka menganggap
Sroedji akan menyerahkan diri. Padahal itu
hanya taktik.
Begitu Belanda mendekat mau
meringkus, dengan gerakan secepat kilat tangan kanan lelaki berdarah Madura itu
merogoh pistol di lengan kiri jaket. Dalam hitungan sepersekian detik moncong
pistol mengarah ke tubuh pasukan Belanda dan langsung menyalak dor...dor...dor!
Dua tentara Belanda yang menyergapnya langsung tersungkur.
Sekian detik setelah Sroedji menembak Belanda,
beberapa kawannya tidak tinggal diam. Tubuh Sroedji diberondong peluru senjata
laras panjang. Sroedji langsung tersungkur. Ternyata aksi Sroedji itu diketahui
oleh Soebandi. Ia sudah berada di semak-semak. Namun, suara berondongan peluru
membuatnya menghentikan pelariannya. Ia menengok ke belakang dan melihat
sahabatnya jatuh tersungkur.
Soebandi langsung keluar dari
rerimbunan tanaman palawija dan kembali berlari mendekat ke tubuh sahabatnya. Ia sadar, kecil kemungkinan nyawanya akan
selamat. Namun, ia tetap tak mau meninggalkan tubuh sahabatnya. Jiwa sebagai
seorang pejuang, kecintaan pada seorang sahabat, sekaligus tugas seorang dokter
di medan perang bercampur jadi satu. Semuanya mengikis rasa takut.
Begitu sampai, dengan emosi ia
memeluk tubuh bersimbah darah itu dan berdiri membopongnya. Sepertinya nyawanya
sudah tak tertolong. Ketika mengangkat tubuh Sroedji, salah satu pasukan
Belanda tak tidak tinggal diam. Senjata menyalak, Soebandi pun tewas
diberondong senapan. Ia tersungkur di sebelah jasad sahabatnya.
“Keberanian
Soebandi sudah di luar batas. Padahal menurut teman-teman saya yang ikut dalam
pertempuran itu, andai Pak Bandi mau melarikan diri dan meninggalkan jasad Pak Sroedji,
hampir pasti dia akan selamat. Tapi rupanya bagi Soebandi, ia memilih mati
syahid demi negara,” kata Syaiful yang pada 8 Januari 2019 lalu meninggal dunia
di usia 95 tahun.
Patung dwi tunggal Letkol. Moch, Sroedji yang dipapah oleh Letkol.
dr. Soebandi sesaat setelah diserang oleh pasukan Belada di Karang
Kedawung Jember, 8 Ferbruari 1949.
JAM TANGAN DAN ALAT KEDOKTERAN
Bagai itik kehilangan induk, pasukan
Damarwulan makin berat paska kehilangan dua orang pimpinannya. Yang tak kalah memilukan
adalah nasib istri Soebandi. Rr. Soekesi, bersama tiga putrinya Widyasmani,
Widyastuti dan Widorini yang saat itu masih balita, yang tidak tahu jika
ayahnya sudah gugur.
Dalam catatan harian Soekesi yang
tertuang dalambiografi tersebut, terakhir kali ia bertemu suaminya tanggal 19
Desember 1948 di Blitar sebelum kembali bergerilya ke wilyaha Besuki atas perintah
Jenderal Soedirman, akibat Belanda ingkar denga nisi perjanjian renville.
Jauh-jauh Soekesi dan ketiga buah
hatinya menyusul dari Jember ke Blitar dengan harapan agar lebih dekat dengan
suaminya. Tapi kebahagiaan itu tak
berlangsung lama. Baru sekitar 1,5 bulan dekat dengan suami, ada gejolak
politik sehingga harus berpisah lagi.
“Kami sangat sedih tapi bagaimana lagi, semua ini demi negara.” Katanya.
Sekitar 2 minggu kemudian, Soebandi
dari lokasi gerilya di Kepanjen, Malang, sempat berkirim surat melalui kurir.
“Tolong rawat anak-anak dengan baik, kalau Tuhan berkendak kita pasti akan
bertemu lagi,” salah satu kalimat dalam surat Soebandi yang sekaligus menjadi
surat terakhirnya.
Setelah itu, Soekesi tak pernah lagi
mendapat kabar tentang suminya sampai akhirnya Soekesi kembali ke tempatnya
semula di Jember. Setahun lamanya ia tidak mendapat kabar, baru pada 23 Maret
1950, setelah Belanda hengkang dari Indonesia datanglah Kapten dr. Soegeng,
teman Soebandi.
Dokter Soegeng mengabarkan bahwa
sebenarnya suaminya sudah meninggal sejak setahun sebelumnya. Kedatangannya itu
sekaligus mengabarkan bahwa jasad suaminya sudah diketemukan di Desa Karang
Kedawung. “Kepergian Bapak itu merupakan pukulan batin yang sangat hebat.
Karena kecintaan Ibu pada Bapak sangat besar, sampai tutup usia di usia 78
tahun Ibu memutuskan tidak mau menikah,” kata dr. Widorini, putri bungsu
Soebandi.
Dalam buku hariannya, Soekesi juga
menulis bahwa untuk menemukan jasad suaminya tidaklah mudah, mengingat saat itu
korban banyak berjatuhan di berbagai tempat. Sebelum dr. Soegeng, temannya yang
lain yakni dr. Mahzar, juga mencari bahkan sudah melakukan penggalian kubur
tetapi tidak berhasil.
Dokter Soegeng berhasil
mengidentifikasi, dari gigi Soebandi yang agak gupil, serta di saku jaketnya juga
diketemukan peralatan suntik, serta jam tangan yang dikenakan. Jam tangan
tersebut saat ini disimpan di museum Brawijaya, Malang.
Kenangan pahit Srinem dan keluarganya mencuat
kembali. Begitu pihak pemerintah berhasil menemukan jejak, maka Arsiman yang
diminta oleh pihak keamanan untuk menggali kubur untuk mengngkat jasad
Soebandi. “Waktu penggalian itu saya juga melihat dari dekat. Saya ingat persis, jasadnya Pak Bandi masih
utuh. Dari dalam kantong yang dikeluarkan masih tersimpan perlatan suntik serta
jam tangannya masih melekat di pergelangan tangan,” kisah Srinem.
Setelah
itu, beberapa tahun kemudian lokasi yang menjadi tempat pertempuran itu
didirikan tugu hingga saat ini. “Meski hanya bertemu beberapa jam, tetapi ingatan
saya pada Pak Bandi tak bisa terhapus. Kisah Pak Bandi sangat membekas,” ujar Srinem. (Gandhi Wasono M.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar