JAKARTA
- Koalisi Obat Murah menuntut agar permasalahan mengenai mahalnya
harga obat-obatan, khususnya obat penyakit katastrofik di Indonesia,
menjadi fokus pembahasan bagi calon presiden Indonesia ke depan.
Karena
akses terhadap obat murah, kunci untuk memastikan adanya jaminan negara
untuk memenuhi hak atas kesehatan rakyat Indonesia. Koalisi menilai
bahwa persoalan harga obat menjadi salah satu faktor di dalam persoalan
defisit BPJS kesehatan.
Muhammad
Teguh Maulana, Staff Riset dan Advokasi Isu Kesehatan dan Perburuhan
Indonesia for Global Justice (IGJ) menjelaskan karena tingginya harga
obat-obatan, beberapa jenis obat kanker seperti Trastuzumab, Cetuximab
dan Bevacizumab harus dihilangkan dari tanggungan BPJS Kesehatan.
Menurutnya, “Ini dilakukan untuk menghemat tingginya anggaran pengobatan
penyakit katastrofik.”
Berdasarkan
persentase, penyakit jantung paling banyak menelan pembiayaan
pengobatannya (52 persen), lalu kanker (16 persen), stroke (13 persen),
gagal ginjal (12 persen), talasemia atau kelainan darah (2,3 persen),
hemofilia atau gangguan pembekuan darah (1,7 persen), hepatitis (1,6
persen), dan leukimia (1,5 persen).
Hal lain menurutnya yang akan membuat harga obat semakin mahal adalah
“Ancaman yang ditimbulkan dari adanya perjanjian FTA dan Investasi yang
saat ini sedang dirundingkan oleh Indonesia.”
Ancaman
tersebut timbul dari dimasukkannya ketentuan TRIPS-Plus yang akan
mengukukuhkan dominasi dan monopoli paten perusahaan-perusahaan farmasi
transnasional (Big Pharma).
Hambatan Akses Pengobatan Pasien Cuci Darah
Selain kanker, penyakit katastrofik lainnya yang menghadapi persoalan
karena defisit BPJS Kesehatan adalah pasien cuci darah atau
hemodialisi.
Persoalan
pasien cuci darah untuk aksesibilitas obat-obatan karena adanya
disparitas tarif antar tipe rumah sakit yang berdampak pada pasien yang
melakukan tindakan cuci darah di klinik bertipe D, tidak mendapatkan
obat-obat yang dibutuhkan. Dalam hal ini Pemerintah masih bersikap
diskriminatif dalam penentuan tarif yang berdampak pada kualitas hidup
pasien.
Menurut Tony Samosir, dari Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
(KPCDI), “Baru-baru ini juga BPJS Kesehatan menetapkan sistem rujukan
berjenjang tanpa memandang jenis penyakit pasien dan kondisi geografis.
Kebijakan BPJS Kesehatan yang mewajibkan tiap penggunanya memperbarui
surat rujukan sangat memberatkan pasien cuci darah.”
Hal
ini menurutnya juga dikarenakan kondisi fisik pasien cuci darah yang
terus menurun, disabilitas, yatim piatu, kelumpuhan dan manula.
Permudah Akses Masuk Obat Langka Versi Generik
Demikian pula untuk akses obat penyakit langka yang sebagian besar
termasuk juga sebagai penyakit katastropik, menyebabkan disabilitas dan
mengancam nyawa. Ada sekitar 6000-7000 jenis penyakit langka yang bila
dijumlah total pasiennya bisa mencapai 10% penduduk, tetapi sayangnya
selama ini belum mendapat perhatian dari pemerintah.
Minimnya
ketersediaan jenis obat penyakit langka paten (karena proses perizinan
yang dipersulit) apalagi yang versi generik, membuat keluarga pasien
harus berburu obat hingga keluar negeri, dimana artinya hanya pasien
mampu yang bisa bertahan hidup.
Indriani Ginoto, Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia mendorong,
“pemerintah untuk memangkas perizinan di BPOM dan campurtangan membantu
dalam pengadaan obat langka generic selengkap mungkin di Indonesia.”
Selain
itu juga memberi keringanan dalam bentuk pengurangan pajak bagi
obat-obat dan alat kesehatan di Indonesia.
Monopoli Obat ARV dan Utilisasi TRIPs Flexibilities
Sementara itu nasib pasien penderita penyakit menular yang sangat
bergantung dengan akses obat-obatan melalui program pemerintahpun tidak
lebih baik. Seperti misalnya untuk kasus penyakit HIV/AIDS yang
mengalami krisis ketersedian obat ARV untuk ODHA.
Penyebabnya
adalah keterlambatan pengadaan obat ARV akibat adanya dugaan korupsi
karena adanya perbedaan harga yang cukup tinggi antara obat yang dibeli
pemerintah dan beredar di pasaran. Kemudian kasus dugaan korupsi ini
juga membuktikan adanya praktek monopoli beberapa produsen obat ARV di
Indonesia.
Pasien membutuhkan calon capres yang peduli dan berani untuk
mengutilisasi mekanisme TRIPs Flexibilities.
Menurut
Aditya Wardhana Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC),
“Hal tersebut dilakukan dengan mengeluarkan kembali Perpres Nomor 76
Tahun 2012 terkait penggunaan paten oleh pemerintah.”
Caranya
dengan memperluas cakupan perpres ini guna memasukkan obat-obatan life
saving yang esensial lainnya tidak hanya obat Antiretroviral (ARV).
Sehingga memastikan akses pasien kepada obat-obatan yang berkualitas
bisa lebih terjangkau harganya. (*/ki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar