oleh :
Dokter Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT,
Sekjen Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Add caption |
KEJADIAN luar biasa (KLB) difteri yang menyebar sangat luas serta memakan banyak korban memunculkan rasa heran sekaligus beragam pertanyaan dari masyarakat. Mengapa jenis penyakit yang dianggap sudah lama “tidur” ini, mendadak muncul dan dalam waktu singkat menyebar di 28 provinsi sekaligus menelan 38 orang meninggal serta 600 orang lainnya harus dirawat di rumah sakit.
Sistem kewaspadaan dini
terhadap difteri ini tentunya sudah ada tetapi seperti tidak efektif. Ancaman difteri terjadi pasang surut, sebelum
tahun 1990 sudah terjadi tetapi akhirnya teratasi sehingga di tahun tersebut
dinyatakan bebas. Pada tahun 2013, kembali muncul tapi lagi-lagi berhasil
diatasi. Namun di penghujung tahun 2017 difteri kembali muncul bahkan dengan
jumlah korban yang cukup banyak.
Sangat difahami bila masyarakat banyak yang mempertanyakan kejadian difteri ini,
karena seharusnya penyakit ini sudah tidak muncul lagi apalagi pada tingkat
kejadian luar biasa. Selain itu, muncul
pula pertanyaan bahwa difteri adalah jenis penyakit mematikan namun jenis
penyakit ini sebenarnya masuk dalam Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I). Epidemi difteri akan terus berlanjut dan menjadi endemis di suatu
daerah atau bahkan terjadi KLB jika cakupan imunisasi rutin rendah dan
pengelolaan rantai dingin vaksin tidak adekuat
(cold b ox). Selain
status imunisasi , faktor lingkungan rumah
juga dapat mempengaruhi. Beberapa aspek terkait dengan faktor ini yaitu
kepadatan rumah, hunian kamar tidur, ventilasi
dan pencahayaan alami serta adanya sumber penularan.
Di sisi lain,
KLB difteri ini memberikan pelajaran sangat berharga bagi kita semua, ibarat
menjadi kunci pembuka kotak pandora problematika pelayanan kesehatan di Indonesia. KLB juga membuktikan bahwa
masih ada kekurangtepatan tata kelola program-program pemerintah dalam sub sistem
upaya pelayanan kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional. Analoginya: saat ini kita bertindak bagaikan petugas
‘pemadam kebakaran’. Dimana petugas
kesehatan atau dokter hanya bertindak atau mengobati ketika wabah atau sakit
itu datang.
Upaya –
upaya untuk mewujudkan paradigma sehat masih belum maksimal diupayakan terutama
langkah-langkar proaktif dalam upaya
preventif dan promotif . Khususnya upaya dalam menjaga jangan sampai sakit
difteri muncul kembali. Oleh karena itu,
tidak berlebihan bila ada sebagian masyarakat mengatakan bahwa kasus KLB difteri ini. Menjadi sorotan tajam terhadap kinerja
program pemerintah di bidang kesehatan.
Apa yang terjadi saat ini sebenarnya akibat ketidak seimbangan dalam pelaksanaan Sistem
Kesehatan Nasional yang sudah terjadi selama puluhan tahun. Kementerian Kesehatan
lebih focus pada pelayanan kuratif ( UKP ). Informasi dari berbagai National
Health Account ( NHA) maupun Distric Health Account (DHA) yang melihat kategori
pengeluaran pada tingkat nasional maupun kabupaten/ kota yang selalu
menunjukkan pengeluaran untuk kegiatan Preventif dan promotif (UKM) yang kecil.
Pada penelitian NHA tahun 2014 misalnya selama 4 tahun terakhir, angka itu
berkisar 10 – 15.
Saat ini dana APBN untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) itu sangat tinggi. Biaya yang
harus dikeluarkan untuk penyembuhan atau perawatan pasien tidak murah apalagi pada
kondisi penyakit katastropik yang membebani
( 33,62% dari total beban rujukan 45,47 trilyun ). Misalnya pasien gagal
ginjal, harus cuci darah seumur hidup. penyakit jantung, kanker, stroke ,
thalassemia, cirrhosis hepatitss, leukemia dan haemofilia. Sungguh tak
terkirakan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah.
Indonesia sudah sejak lama menerapkan strategi pelayanan
kesehatan primer dan esensial untuk mengatasi masalah kesehatan penduduk dan
masyarakat Indonesia. Puskesmas bersama posyandu pernah menjadi kunci sukses
dalam cakupan KB, imunisasi dan gizi balita . Di era JKN terjadi transformasi
pelayanan di Puskesmas dimana Puskesmas sebagai FKTP BPJS yang diharapkan mampu
melaksanakan pelayanan kesehatan untuk 144 diagnosis penyakit (UKP).
Dengan berubahnya orientasi ke arah UKP membuat tupoksi
utama dalam mengedepankan preventif dan promotif tidak dapat berjalan maksimal demikian
pula pembinaan wilayah dan UKM juga tidak bisa berjalan dengan baik. Itu belum
ditambah lagi pembebanan kepada Puskesmas dengan banyak target seperti SPM,
RPJMN, SDG’s dan lain-lain dimana setiap target disertai dengan laporan yang
memberatkan Puskesmas. Sementara Puskesmas sendiri juga sangat kekurangan
tenaga UKM.
Hal diatas
inilah yang menimbulkan kekhawatiran besar terhadap KLB difteri ini menjadi bom
waktu. Tidak mustahil ke depan dapat berpotensi terjadi wabah-wabah penyakit menular yang lain. Jika
ini terjadi, bisa dibayangkan betapa berat beban masyarakat dan negara
menghadapi KLB atau wabah itu.
Kita semua berharap
jangan sampai terjadi,
tetapi sekali lagi kemungkinan itu bisa terjadi apabila tidak dilakukan
pembenahan atau intervensi mulai
saat ini. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah melalui kementerian kesehatan harus sangat serius menangani
KLB difteri ini, sebab kalau tidak maka masyarakat yang akan jadi korban.
PENCEGAHAN
LEBIH BESAR
Alokasi dana
terkaitkegiatan preventif dan promotif yang yang memfokuskan pada edukasi kepada
masyarakat melalui penyuluhan di Puskesmas, Posyandu atau pos kesehatan yang
menyenturh masyarakat paling dasar.
Karena Puskesmas merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat.
Perlu
diketahui Puskesmas memiliki memiliki
program yang sangat bagus sebagai tindakan preventif. Mulai program pokok upaya
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, imunisasi,
kesehatan lingkungan, pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyuluhan
kesehatan, upaya kesehatan gigi dan mulut dan masih banyak lagi.
Kalau hal
ini dilakukan secara tepat, maka beban pembiayaan kesehatan pemerintah
diharapkan akan menurun karena sudah melangkah ke paradigma sehat oleh
karena angka kesakitan menurun . Beda dengan sekarang pasien sakit yang datang
ke Puskesmas di berbagai daerah jumlah menumpuk, sehingga upaya-upaya preventif
itu jadi terbengkalai.
Oleh karena itu, kementerian kesehatan harus merevitalisasi fungsi Puskesmas pada pelayanan kesehatan dalam perspektif preventif dan promotif untuk menekan pembiayaan akibat terjadinya kejadian KLB sepertikasus difteri ini. Dana tindakan preventif itu tidak boleh menganggu dana untuk program JKN Jaminan Kesehatan Nasional) yang dikelola BPJS.
Pemerintah melalui Kementerian kesehatan tidak bisa melihat kasus ini dengan sederhana.
KLB
difteri ini menjadi momen yang tepat sekaligus menjadi titik balik ini
untuk melakukan pembenahan. Pemerintah harus bersinergi dengan semua
stakeholder kesehatan dan seluruh komponen masyarakat dalam melaksanakan sistem
kesehatan nasional terutama dalam sub sistem upaya upaya kesehatan khusunya
kebutuhan kesehatan dasar dan esensial .
Berbicara penyakit menular, maka Indonesia merupakan
kawasan yang paling mudah terjangkit. Karena tipikal mobilisasi masyarakat yang
sangat-sangat tinggi, transportasi
begitu padat, ditambah tingkat kepadatan penduduk. Semua ini memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap berkembangnya penyakit menular.
Menyangkut edukasi kepada masyarakat, saat ini eranya
memang sudah berbeda. Maka cara komunikasinyapun harus disesuaikan dengan
perkembangan jaman. Karena sekarang eranya digital, maka seharusnya pola
komunikasinya juga harus digital pula. Edukasi kesehatan kepada masyarakat
terkait dengan imunisasi perlu semakin digalakkan untuk meningkatkan angka
cakupan imunisasi, peningkatan gizi , peningkatan upaya dalam kesehatan
lingkungan, hygiene dan sanitasi serta gaya hidup sehat menjadi prioritas
program nasional dan daerah sehingga peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dapat tercapai. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar